I’m back! After a very
very loooong time ignoring this blog without any guilty feeling at all (mihihi
:3). Who said “I feel so I write” and actuating writing as one-kind-of-things-of-a-self-reflection?
Actually I was not forgetting writing stuffs itself, I just forgot how to
write, how to start a sentence, how to motivate others to read some letters of
mine without forgetting pujian-pujian yang orang kasih buat tulisan aku,
followers twitter aku yang kemudian follow aku (beberapa orang sirik bilang aku
pake following engine), and other things
that I got by writing.
Things happened, some
just gone by, and some leave pains (I don’t wanna called these as a fucking matters
anymore, they’re just a lesson). And
this time I will tell you about one-of-a-million girls (actually not a)
problem: love stuffs.
The relationship (that
was meant to be ended, soon or later) was finally ended. Some people who feels
like they’re-very-very-know-the-problem-even-they’re-not start assuming this
and that (this is the worse part). Some asked “Bored matters?” and the other
said “Kamu mungkin terlalu keras” and
some some and some other assumptions.
Tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan dia di blog ini,
mungkin dia emang bukan seseorang yang dikirim Tuhan untuk membahagiakan aku
lagi. Somebody will, but the only thing I
have to do is keep my patience for waiting, because right person will come in a
right time.
Maybe it’s easy for me
to change those-kind-of-feeling back to be a friend-- like we did before—cause
I knew that kinda relationship soon or later will be to an end. Papaku yang
pada saat itu udah punya aku dan adekku yang bisa menjadi simbol keterikatan
sama mamaku aja masih bisa ninggalin mamaku buat nikah sama orang lain, apalagi
aku sama dia, yang belum terikat apa-apa dan ga ada simbol apa-apa.
"Aku memang ga meneteskan setetespun air mata karena putus sama dia, bahkan sampe sekarang aku masih belum tau cinta itu apa dan seperti apa. Aku mungkin ga bisa sayang sama dia sama kaya sayangnya dia ke aku dulu. Entahlah, entah karena aku memang ga merasakan kasih sayang ayah dari kecil sampe efek seperti ini ada ke aku, atau emang aku yang terlalu apatis. Tapi setidaknya, karena hal ini dan hal itu, aku jadi punya pandangan tentang bagaimana sosok laki-laki yang pas buat jadi pendampingku besok, dan bagaimana aku harus menjadi seseorang yang pantas buat mendampinginya, tanpa orang tuanya terlalu mempermasalahkan dengan latar belakang keluargaku yang broken home, keadaan ekonomi keluargaku, dan berbagai hal lain. Dia dan keluarganya mencintai aku karna aku, bukan karena sesuatu yang memang tidak sepatutnya untuk dipermasalahkan, like he and his family did."
Ok, that's enough for today. Hope you enjoy and read this again another time :))
Love,
Sari
0 comments:
Post a Comment